Rabu, 17 April 2013

Perbandingan UU Nomor 9 Tahun 1985 dengan UU Nomor 31 Tahun 2004


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBFJSBRUsma0avudJXxIzG_0dd-2btlkjbjn61c7pW-UiWfY5A7TIgaOqUimHL1Mlojwgc-sIEHtcB5WDjzp8LqiFzE4eqyzROf8OR3e2gxm1udPSjZnp7Oztbn1bIWr6xjQagCkseiJLz/s1600/DewiKeadilan.jpg
UU Nomor 9 Tahun 1985
Tanah air Indonesia yang sebagian besar terdiri dari perairan, mengandung sumber daya ikan yang sangat tinggi tingkat kesuburannya dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, sejak dulu kala dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia secara turun temurun, Dengan telah disahkannya rejim hukum Zona Ekonomi Eksklusif dalam lingkup hukum laut internasional yang baru, maka sumber daya ikan milik bangsa Indonesia menjadi bertambah besar jumlahnya dan sangat potensial untuk menunjang upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat.
Sumber daya ikan seperti di atas, dipadukan dengan nelayan dan petani ikan yang sangat besar jumlahnya, merupakan modal dasar pembangunan nasional yang sangat penting artinya. Dalam mencapai tujuan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, bidang perikanan harus mampu ikut serta mewujudkan kekuatan ekonomi sebagai upaya meningkatkan ketahanan nasional.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya ikan. Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber daya ikan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak dan oleh karenanya pemanfaatan sumber daya ikan harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan, sekaligus memperbaiki kehidupan nelayan dan petani ikan kecil serta memajukan desa-desa pantai. Berpegang kepada pikiran dasar ini, maka perlu diambil langkah-langkah agar para nelayan dan petani ikan yang sampai saat ini masih termasuk golongan yang sangat rendah pendapatannya memperoleh kesempatan cukup untuk meningkatkan kesejahteraannya. Amanat bahwa kekayaan alam Indonesia harus dipergunakn untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 tersebut mengandung pula arti, bahwa pemanfaatan sumber daya ikan tidak sekedar ditujukan untuk kepentingan kelompok masyarakat yang secara langsung melakukan kegiatan di bidang perikanan, tetapi juga harus memberi manfaat sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan. Dengan bertolak dari pemikiran dasar tentang masalah keadilan dan pemerataan tadi, dirasakan perlunya usaha-usaha untuk mewujudkan penyediaan ikan dalam jumlah yang memadai sebagai upaya mencukupi gizi masyarakat dengan harga yang layak.
Pasal 33 juga mengandung cita-cita bangsa, bahwa pemanfaatan sumber daya ikan harus dapat dilakukan secara terus menerus bagi kemakmuran rakyat. Sejalan dengan itu, sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatannya diatur secara mantap, sehingga mampu menjamin arah dan kelangsungan serta kelestarian pemanfaatannya dapat berlangsung seiring dengan tujuan pembangunan nasional.
Sumber daya ikan memang memiliki daya pulih kembali ("renewable"), walaupun hal itu tidak pula berarti tak terbatas. Oleh karena itu apabila pemanfaatannya dilakukan secara bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumber daya ikan, misalnya sampai melebihi potensi yang tersedia, atau dengan menggunakan alat yang dapat merusak sumber daya ikan dan/atau lingkungan, tentu akan berakibat terjadinya kepunahan. Terancamnya kelestarian sumber daya ikan dapat pula disebabkan oleh kegiatan-kegiatan lain, misalnya pelayaran, pertambangan, penempatan kabel laut, pembuangan sampah industri, penebangan hutan bakau bahkan juga peristiwa alam, kesemuanya ini secara potensial dapat menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Sehubungan dengan itu, pembinaan kelestarian sumber daya ikan merupakan masalah yang sangat penting dan harus dilaksanakan segara terpadu dan terarah. Dalam hubungan inilah maka perlu diambil langkah-langkah untuk mengatur segi-segi kelestarian serta pengawasannya. Hal yang sangat penting dan erat sekali kaitannya dengan masalah perikanan ini, adalah wilayah perikanan itu sendiri. Oleh karenanya, keterkaitan Undang-undang ini terutama dengan Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta pelaksanaan konsep negara kepulauan ("archipelagic state concept") sebagaimana diakui dalam hukum laut intemasional yang baru bersifat mutlak. Sebab di dalam wilayah perairan itulah jangkauan pengaturan Undang-undang ini berlangsung dan diberlakukan.
Kenyataan bahwa sumber daya ikan yang menjadi milik Bangsa Indonesia semakin bertambah besar, perlu diimbangi usaha-usaha pemanfaatan yang memadai berasaskan kekeluargaan dan berdasarkan demokrasi ekonomi. Untuk itu peranan dan perkembangan koperasi, badan usaha milik negara dan swasta di bidang perikanan perlu ditingkatkan secara wajar dan terarah serta serasi.
Karena untuk mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal memang dibutuhkan permodalan yang cukup besar, teknologi yang tepat guna dan tenaga kerja yang memadai, maka pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang terdapat di perairan laut yang demikian luasnya, memerlukan sistem pengawasan dan pengamanan yang memadai. Untuk itu Pemerintah perlu memberikan perhatian yang cukup di bidang ini.
Dari pada itu, peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang berlaku sebagian besar masih berasal dari zaman Hindia Belanda. Selain berbeda dalam pemikiran dasar, peraturan-peraturan itupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan. Sehubungan dengan hal-hal di atas, maka dipandang perlu untuk mengatur perikanan dengan Undang-undang.
UU Nomor 31 Tahun 2004
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besamya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.
Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia meiniliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonoini ekskiusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonoinian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin ektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, keinitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.
Untuk menjainin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang penkanan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. OIeh karena itu, adanya kepastian hukum merupakaan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang ini Iebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan deinikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex spec/ails). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalaini berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materlil dan hukum formil. Untuk menjainin kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam Undang-Undang ini rumusan mengenai hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun deinikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, barn melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku. Pengadilan perikanan tersebut bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. 
Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka Undang-Undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan:
  1. pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan;
  2. pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan pengendaliannya; 
  3. pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
  4. pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu; 
  5. pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan; 
  6. pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana perikanan serta sistim informasi dan data statistik perikanan; 
  7. penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan; 
  8. pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan kelautan dan perikanan;
  9. pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil atau pembudi daya-ikan kecil; 
  10. pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona ekonoini eksklusif Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan persyaratan atau standar internasional yang berlaku;
  11. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan intemasional sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang tersedia; 
  12. pengawasan perikanan; 
  13. pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI-AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia; 
  14. pembentukan pengadilan perikanan; dan 
  15. pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-Undang ini merupakan pembaharuan dan penyempurnaan pengaturan di bidang perikanan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar