Rabu, 17 April 2013

Pengadilan Perikanan Mampukah Menjadi Terobosan ?

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjM7sG11qnZEDbeA_9IbQAPtbCyxMISIrlgglpTH-JOPNT-b5zIuIdSsKfj7PyTDNifZi4eakEw3qA5Zowajcuj59OsMaEl13wMP-wQLkHDvaAf2jTIq-bcOPcKstQPEX9ia4mEYQMkOIDm/s1600/hukum.jpg
Pertanyaan tersebut nenarik untuk kita renungkan, khususnya ditinjau dari tiga aspek berikut: pertama, saat ini dunia peradilan kita sedang menjalani proses pembaruan, khususnya  berkenaan dengan perbaikan kinerja dan manajemen lembaga peradilan yang sudah ada. Menariknya, di tengah kuatnya arus pembaruan tersebut, rencana beberapa kalangan untuk membentuk pengadilan-pengadilan khusus juga terus berjalan, seperti rencana pembentukan Pengadilan Lingkungan, Pengadilan Korupsi, Pengadilan Pencuri Kayu, Pengadilan Perindustrian, Pengadilan Profesi Kedokteran, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Perikanan (selanjutnya disingkat PP). Dua pengadilan terakhir ini bahkan telah mempunyai dasar hukum yaitu UU No. 31/2004 tentang Perikanan dan UU No. 2/2004 tentang Penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial.
Kedua, lahirnya UU No. 31 Tahun 2004 tentang  Perikanan -- yang di dalamnya mengamanatkan dibentuknya PP --  saat ini sedang gencar-gencarnya mendapat sorotan publik. Tak kurang Ketua Mahkamah Agung sendiri telah dibuat kaget dengan ”lolosnya” ketentuan dalam UU tersebut, yang konon pembahasannya tidak melibatkan pihak Mahkamah Agung (Hukumonline, 18 Oktober 2004). Kritik tajam juga dilontarkan Prof Dr Indriyanto Seno Adji. Bagi Indriayanto, pembentukan peradilan khusus semacam ini dinilainya hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi asas penyatuatapan, di samping melanggar sistematisasi lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial (Harian Kompas, Kamis 23 September 2004). Ketiga, terlepas dari persoalan di atas,  rencana pembentukan PP itu sendiri ternyata masih menyisakan banyak persoalan mendasar seperti: kelamahan-kelamahan dalam hukum acara, tidak adanya mekanisme koordinasi (khususnya pada tingkat penyidikan), tidak adanya jaksa ad hoc,  tidak jelasnya format pengadilan yang akan dibentuk, serta kendala-kendala non teknis lainnya.
Berangkat dari tiga hal di atas, melalui tulisan singkat ini akan coba dijelaskan bagaimanakah sebenarnya posisi serta relevansi keberadaan PP ini dalam konteks pembaruan di bidang perdilan yang saat ini sedang berjalan, mampukah pengadilan perikanan menjadi sebuah terobosan, serta persoalan apa saja yang perlu mendapat perhatian.

Proses pembaruan yang mandek
Belum lama ini DPR dan Pemerintah telah mensahkan UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (mengganti UU No. 14 tahun 1970), UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mengundangkan UU tentang Perubahan atas UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan UU tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.  Sedangkan RUU tentang Komisi Yudisial sampai saat ini masih dibahas di DPR. Pengesahan keempat UU di bidang peradilan tersebut terutama dimaksudkan untuk mempercepat proses pengalihan wewenang departemen untuk mengelola aspek administrasi, organisasi dan keuangan pengadilan kepada Mahkamah Agung, atau lebih dikenal dengan penyatuatapan pengelolaan pengadilan. Meski sebagian kalangan menaruh harapan terhadap proses pembaruan ini, faktanya hal ini juga  tidak sedikit menuang kritik.
Rifqi Sjarief Assegaf dalam tulisannya, Perubahan UU Bidang Peradilan: Lelucon Yang Tidak Lucu (Parlemen.net: 4 Juni 2004) menyatakan bahwa substansi dari keempat UU baru tersebut masih belum menyentuh kelemahan-kelemahan yang ada dalam  UU lama.  Di samping itu, ternyata banyak kejanggalan dan kekacauan berpikir dalam substansi yang diatur UU tersebut, misalnya ketidakjelasan konsep dan arah pembaruan peradilan yang ingin dituju, penempatan kembali hakim sebagai pegawai negeri sipil, pembengkakan organisasi MA, kemungkinan perpanjangan masa usia pensiun hakim agung tanpa pengaturan yang jelas, makin sulitnya persyaratan untuk menjadi hakim agung non karir dan sebagainya.
Melihat fakta tersebut, tanpa harus mengomentari apa yang dikemukakan oleh Rifqi Sjarief Assegaf di atas,  rasanya kita sudah cukup memperoleh gambaran, bahwa proses pembaruan dunia peradilan masih belum memenuhi harapan banyak kalangan, yaitu membangun pengadilan yang independen, bersih, kompeten, cepat, sederhana dan biaya ringan. Kalau demikian adanya, lantas apa yang bisa kita harapkan? Di tengah kemandekan inilah tampaknya masih ada sedikit ”ruang” bagi peradilan-peradilan khusus seperti PP untuk memberikan andilnya. Dengan kata lain, dalam konteks ini kita mencoba memahami  kehadiran PP sebagai sebuah ”jalan alternatif” menuju bangunan  peradilan yang ideal seperti yang kita cita-citakan.

Semangat Pembentukan Pengadilan Khusus Perikanan
Kembali pada pokok pebicaraan kita mengenai pembentukan Pengadilan Perikanan, ide pembentukan lembaga-lembaga peradilan khusus seperti halnya PP ini, pada dasarnya dialndasi oleh semangat untuk mengatasi krisis “ketidakberdayaan” lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum. Proses hukum yang ada dinilai jauh dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Alasan yang tak kalah penting adalah dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, serta  semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum, terutama di bidang-bidang yang sangat spesifik seperti korupsi, lingkungan hidup, tata niaga, pajak, profesi kedokteran, perikanan, dll, dibutuhkan suatu lembaga peradilan yang lebih profesional yang didukung oleh SDM yang benar-benar menguasi persoalan-persoalan khusus tersebut.
Dasar-dasar pertimbangan di atas berlaku pula pada di bidang perikanan. Penanganan kasus-kasus perikanan selama ini dinilai tidak berjalan secara optimal. Kita bisa melihat bagaimana instansi-instansi yang terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan tidak berjalan secara sinergis, bahkan cenderung berebut dan bersaing sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Lihat saja misalnya kasus pelepasan 6 kapal ikan Thailand berikut 250 anak buah kapal (ABK)-nya di Pontianak setahun yang lalu, padahal jelas-jelas kapal asing tersebut tertangkap sedang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Alasannya pun tidak masuk akal, karena pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan makan mereka serta dikhawatir kan ABK yang ditahan menularkan penyakit HIV/AIDS (Harian Kompas, 19 Februari 2003). Persoalan tersebut semakin diperburuk dengan banyaknya putusan-putusan pengadilan yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Contohnya   putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara  yang menyidangkan kasus pencurian ikan oleh 2 kapal ikan Thailand. Kedua kapal ilegal itu hanya didenda masing-masing Rp 10 juta serta Rp 15 juta per unit, sedangkan kapal yang disita dilepaskan lagi (Harian Kompas, 1 Oktober 2003). Kasus serupa terjadi di Pengadilan Negeri Gresik, dimana kasus pencurian ikan oleh kapal asing hanya di divonis bebas dan dikenai biaya perkara Rp. 1.000,-.
Di samping Kasus-kasus di atas, sebenarnya masih banyak kasus lain yang dapat kita lihat di media-media masa. Hal ini menunjukan kepada kita betapa penanganan terhadap kasus-kasus perikanan di Indonesia sangat memperihatinkan. Padahal akibat lumpuhnya penegakan hukum di bidang perikanan ini telah mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Kerugian akibat pencurian ikan di perairan Indonesia diperkirakan berkisar 1 juta sampai 1,5 juta ton per tahun, atau setara dengan dua miliar dollar AS sampai empat miliar dollar AS (Rokhmin Dahuri:2003). Kerugian tersebut belum termasuk kerusakan biota laut sebagai akibat dari penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau dan berbagai alat tangkap berteknologi canggih lainnya. Berangkat dari kenyataan itulah, kemudian banyak kalangan mulai menyuarakan perlunya dibentuk Pengadilan Perikanan.

Mampukah Pengadilan Perikanan menjadi terobosan?
Inilah persoalannya. Setelah kini ada landasan hukum bagi pembentukan PP, tidak serta merta pesoalan menjadi selesai. Kalau kita cermati ketentuan-ketentuan dalam UU No. 31/2004, khususnya Bab XIII tentang Pengadilan Perikanan, ternyata masih banyak hal yang harus dibenahi sebelum lembaga baru ini benar-benar dibentuk dua tahun ke depan.  Menurut hemat saya, paling tidak ada tiga persoalan pokok yang perlu mendapat perhatian serius.
Pertama, adanya kelamahan-kelamahan pada hukum acara.  Hukum acara PP mematok waktu cukup singkat, yaitu 160 hari untuk penyelesaikan  suatu perkara mulai dari penyidikan sampai putusan MA. Waktu yang cukup singkat dibanding standar KUHAP yang untuk penyelesaian perkara tingkat pertama saja butuh waktu tiga kali lebih lama.  Persoalannya, jangka waktu yang sedemikian singkat itu akan berbenturan dengan kondisi rill di lapangan, khususnya berkenan dengan jalur beracara yang harus dilalui. Acara pemeriksaan di PP mengenal tiga tahapan, yaitu pemeriksaan tingkat pertama (PP), tingkat banding (PT) dan kasasi (MA). Untuk tiap tahapan tersebut dialokasikan waktu masing-masing 30 hari. Di tingkat pertama (PP) – dengan dukungan SDM yang memadai serta khusus hanya menangani perkara-perkara perikanan – mungkin tenggang waktu 30 hari cukup memadai,  tapi bagaimana halnya dengan PT dan MA? Cukupkah waktu 30 hari? Faktanya perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload. Kelemahan mekanisme ini sebenarnya terkait dengan tidak adanya mekanisme pembatasan terhadap perkara-perkara yang akan diajukan bading/kasasi. Disamping itu, tidak adanya hakim ad hoc di tingkat banding dan kasasi juga akan berpengaruh terhadap kemampuan dab kesigapan  penanganan perkara di kedua tingkat peradilan ini.
 Selain tidak adanya hakim ad hoc di tingkat banding/kasasi, dalam PP juga tidak dikenal jaksa ad hoc. Padahal keberadaan jaksa ad hoc ini sebenarnya sangat penting, sebab bagaimanapun jaksalah yang akan membedah dan membuktikan suatu perkara di pengadilan. Kenyataannya, banyak kasus yang lolos di pengadilan bukan hanya disebabkan oleh hakim yang tidak begitu memahami perkara perikanan, tapi karena ketidakmampuan jaksa dalam membuktikan tindak pidana di bidang perikanan tersebut.
Hal lain yang tak kalah penting adalah mengenai alat bukti yang masih mengacu pada KUHAP. Padahal dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, alat bukti yang diatur dalam KUHAP sudah tidak memadai lagi. Di bidang perikanan data dan informasi hasil pengawasan melalui Vessel Monitoring System (VMS) -- yang saat ini sedang digalakan di Indonesia-- sebenarnya  sangat penting bagi proses pembuktian. Namun sayangnya hal itu justru tidak dimasukan sebagai salah satu alat bukti.
         Kedua, tidak adanya mekanisme koordinasi, khususnya pada tingkat penyidikan. Penyidik di bidang perikanan terdiri darai PPNS, TNI AL, dan Kepolisian. Institusi tersebut sama-sama mempunyai dasar hukum atas kewenangannya sebagai penyidik di laut. Persoalannya, dalam praktek di lapangan koordinasi diantara instansi tersebut sangat lemah. Seperti pada kasus-kasus yang telah dikemukakan di atas, akibat kuatnya ego dan kepentingan  diantara mereka, proses penyidikan tindak-tindak pidana di bidang perikanan menjadi kurang optimal. Lalu bagaimana UU 31/2004 mengatur hal itu? Ternyata dalam UU 31/2004 nyaris tidak ada sesuatu yang baru yang diharapkan dapat mengatasi persoalan lemahnya koordinasi tersebut. Diposisikannya PPNS sejajar dengan TNI AL dan Kepolisian sebagai penyidik, serta diberikannya kewenangan kepada Menteri untuk membentuk forum  koordinasi bagi kepentingan penyidikan di tingkat daerah, belum memberikan solusi nyata bagi persoalan tersebut. Apalagi forum koordinasi tersebut nota bene dibentuk pada tingkat menteri, sedangkan Bakorkamla yang sudah lama eksis dan dibentuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKP) saja nyaris tidak bisa berbuat apa-apa.
Ketiga, banyaknya hal-hal teknis yang belum diatur, khususnya terkait dengan format pengadilan yang akan dibentuk, seperti: bagaimana susunan PP tersebut (pimpinan, hakim anggota, sekretaris, panitera, dll), apa tugas dari masing-masing perangkat pengadilan tersebut, siapa yang menjadi hakim ketua, bagaimana mekanisme pengangkatan dan pemberhentian hakim (ad hoc), berapa lama masa jabatan hakim (ad hoc), apa saja persyaratan untuk diangkat menjadi hakim (ad hoc), apakah semua perkara harus diputus oleh Majelis (tiga orang hakim) atau dapat oleh hakim tunggal untuk perkara-perkara yang ringan, dan bagaimana mekanisme pembinaan dan pengawasan terhadap pengadilan ini. Hal-hal tersebut sama sekali tidak diatur dalam UU 31/2004. Hal ini dikhawatirkan  sedikit banyak akan menjadi hambatan bagi PP dalam menjalankan fungsinya nanti.
Tentang tidak adanya mekanisme pembinaan dan pengawasan, hal ini sebenarnya sangat fatal, sebab realisasi pembinaan dan pengawasan terhadap badan peradilan sangat  diperlukan guna menjamin terwujudnya  penegakan hukum yang benar-benar memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Demikian pula tidak adanya pengaturan mengenai persyaratan untuk diangkat menjadi hakim PP, menyebabkan tidak jelasnya standar kualifikasi bagi hakim-hakim yang akan diangkat. Kita semua menyadari, sebaik apapun aturan hukum dibuat,  namun yang lebih menjamin keberhasilannya nanti adalah sejauh mana integritas moral yang dimiliki oleh hakim-hakim PP dalam membedah kasus-kasus di pengadilan. Dari optik sosiologis, undang-undang itu hanya ”benda mati”, yang hidup, jika ”dihidupkan” oleh para penegak hukum. Seharusnya para penyusun UU dapat  mengambil  pelajaran dari ucapan Prof. Teverne: “berikan kepada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan undang-undang yang buruk  saya dapat memberikan putusan yang bagus”.
       Pada akhirnya kita semua menyadari, mampu atau tidaknya lembaga peradilan ini memberi andil positif bagi pembangunan dunia peradilan kita,   akan sangat tergantung pada sejauh mana keseriusan semua pihak untuk mempersiapkan lembaga peradilan ini, termasuk mencari jalan keluar untuk meminimalisir kelemahan-kelamahan yang ada padanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar