Pertanyaan
tersebut nenarik untuk kita renungkan, khususnya ditinjau dari tiga aspek
berikut: pertama, saat ini dunia peradilan kita sedang menjalani
proses pembaruan, khususnya berkenaan dengan perbaikan kinerja dan
manajemen lembaga peradilan yang sudah ada. Menariknya, di tengah kuatnya arus
pembaruan tersebut, rencana beberapa kalangan untuk membentuk pengadilan-pengadilan
khusus juga terus berjalan, seperti rencana pembentukan Pengadilan Lingkungan,
Pengadilan Korupsi, Pengadilan Pencuri Kayu, Pengadilan Perindustrian,
Pengadilan Profesi Kedokteran, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan
Perikanan (selanjutnya disingkat PP). Dua pengadilan terakhir ini bahkan telah
mempunyai dasar hukum yaitu UU No. 31/2004 tentang Perikanan dan UU No. 2/2004
tentang Penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial.
Kedua, lahirnya UU No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan -- yang di dalamnya mengamanatkan
dibentuknya PP -- saat ini sedang gencar-gencarnya mendapat sorotan
publik. Tak kurang Ketua Mahkamah Agung sendiri telah dibuat kaget dengan
”lolosnya” ketentuan dalam UU tersebut, yang konon pembahasannya tidak melibatkan
pihak Mahkamah Agung (Hukumonline, 18 Oktober 2004). Kritik tajam juga
dilontarkan Prof Dr Indriyanto Seno Adji. Bagi Indriayanto, pembentukan
peradilan khusus semacam ini dinilainya hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran
dan inkonsistensi asas penyatuatapan, di samping melanggar sistematisasi
lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial (Harian Kompas,
Kamis 23 September 2004). Ketiga, terlepas dari persoalan di
atas, rencana pembentukan PP itu sendiri ternyata masih menyisakan banyak
persoalan mendasar seperti: kelamahan-kelamahan dalam hukum acara, tidak adanya
mekanisme koordinasi (khususnya pada tingkat penyidikan), tidak adanya jaksa ad
hoc, tidak jelasnya format pengadilan yang akan dibentuk, serta
kendala-kendala non teknis lainnya.
Berangkat
dari tiga hal di atas, melalui tulisan singkat ini akan coba dijelaskan
bagaimanakah sebenarnya posisi serta relevansi keberadaan PP ini dalam konteks
pembaruan di bidang perdilan yang saat ini sedang berjalan, mampukah pengadilan
perikanan menjadi sebuah terobosan, serta persoalan apa saja yang perlu
mendapat perhatian.
Proses pembaruan yang mandek
Belum
lama ini DPR dan Pemerintah telah mensahkan UU No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (mengganti UU No. 14 tahun 1970), UU No. 5 tahun 2004
tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
mengundangkan UU tentang Perubahan atas UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, dan UU tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Sedangkan RUU tentang Komisi Yudisial sampai saat ini masih
dibahas di DPR. Pengesahan keempat UU di bidang peradilan tersebut terutama
dimaksudkan untuk mempercepat proses pengalihan wewenang departemen untuk
mengelola aspek administrasi, organisasi dan keuangan pengadilan kepada
Mahkamah Agung, atau lebih dikenal dengan penyatuatapan pengelolaan pengadilan.
Meski sebagian kalangan menaruh harapan terhadap proses pembaruan ini, faktanya
hal ini juga tidak sedikit menuang kritik.
Rifqi
Sjarief Assegaf dalam tulisannya, Perubahan UU Bidang Peradilan: Lelucon
Yang Tidak Lucu (Parlemen.net: 4 Juni 2004) menyatakan bahwa substansi dari
keempat UU baru tersebut masih belum menyentuh kelemahan-kelemahan yang ada
dalam UU lama. Di samping itu, ternyata banyak kejanggalan dan
kekacauan berpikir dalam substansi yang diatur UU tersebut, misalnya
ketidakjelasan konsep dan arah pembaruan peradilan yang ingin dituju,
penempatan kembali hakim sebagai pegawai negeri sipil, pembengkakan organisasi
MA, kemungkinan perpanjangan masa usia pensiun hakim agung tanpa pengaturan
yang jelas, makin sulitnya persyaratan untuk menjadi hakim agung non karir dan
sebagainya.
Melihat
fakta tersebut, tanpa harus mengomentari apa yang dikemukakan oleh Rifqi
Sjarief Assegaf di atas, rasanya kita sudah cukup memperoleh gambaran,
bahwa proses pembaruan dunia peradilan masih belum memenuhi harapan banyak
kalangan, yaitu membangun pengadilan yang independen, bersih, kompeten, cepat,
sederhana dan biaya ringan. Kalau demikian adanya, lantas apa yang bisa kita
harapkan? Di tengah kemandekan inilah tampaknya masih ada sedikit ”ruang” bagi
peradilan-peradilan khusus seperti PP untuk memberikan andilnya. Dengan kata
lain, dalam konteks ini kita mencoba memahami kehadiran PP sebagai sebuah
”jalan alternatif” menuju bangunan peradilan yang ideal seperti yang kita
cita-citakan.
Semangat Pembentukan Pengadilan Khusus Perikanan
Kembali
pada pokok pebicaraan kita mengenai pembentukan Pengadilan Perikanan, ide
pembentukan lembaga-lembaga peradilan khusus seperti halnya PP ini, pada
dasarnya dialndasi oleh semangat untuk mengatasi krisis “ketidakberdayaan”
lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum.
Proses hukum yang ada dinilai jauh dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Alasan yang tak kalah penting adalah dengan semakin pesatnya kemajuan
teknologi, serta semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum, terutama
di bidang-bidang yang sangat spesifik seperti korupsi, lingkungan hidup, tata
niaga, pajak, profesi kedokteran, perikanan, dll, dibutuhkan suatu lembaga
peradilan yang lebih profesional yang didukung oleh SDM yang benar-benar
menguasi persoalan-persoalan khusus tersebut.
Dasar-dasar pertimbangan di atas
berlaku pula pada di bidang perikanan. Penanganan kasus-kasus perikanan selama
ini dinilai tidak berjalan secara optimal. Kita bisa melihat bagaimana
instansi-instansi yang terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan tidak
berjalan secara sinergis, bahkan cenderung berebut dan bersaing sesuai dengan
kepentingannya masing-masing. Lihat saja misalnya kasus pelepasan 6 kapal ikan
Thailand berikut 250 anak buah kapal (ABK)-nya di Pontianak setahun yang lalu,
padahal jelas-jelas kapal asing tersebut tertangkap sedang menangkap ikan
secara ilegal di perairan Indonesia. Alasannya pun tidak masuk akal, karena
pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan makan mereka serta dikhawatir kan ABK yang ditahan
menularkan penyakit HIV/AIDS (Harian Kompas, 19 Februari 2003). Persoalan
tersebut semakin diperburuk dengan banyaknya putusan-putusan pengadilan yang
jauh dari rasa keadilan masyarakat. Contohnya putusan hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menyidangkan kasus pencurian ikan
oleh 2 kapal ikan Thailand.
Kedua kapal ilegal itu hanya didenda masing-masing Rp 10 juta serta Rp 15 juta
per unit, sedangkan kapal yang disita dilepaskan lagi (Harian Kompas, 1 Oktober
2003). Kasus serupa terjadi di Pengadilan Negeri Gresik, dimana kasus pencurian
ikan oleh kapal asing hanya di divonis bebas dan dikenai biaya perkara Rp.
1.000,-.
Di samping Kasus-kasus di atas,
sebenarnya masih banyak kasus lain yang dapat kita lihat di media-media masa.
Hal ini menunjukan kepada kita betapa penanganan terhadap kasus-kasus perikanan
di Indonesia
sangat memperihatinkan. Padahal akibat lumpuhnya penegakan hukum di bidang
perikanan ini telah mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Kerugian akibat
pencurian ikan di perairan Indonesia
diperkirakan berkisar 1 juta sampai 1,5 juta ton per tahun, atau setara dengan
dua miliar dollar AS sampai empat miliar dollar AS (Rokhmin Dahuri:2003).
Kerugian tersebut belum termasuk kerusakan biota laut sebagai akibat dari
penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau dan berbagai alat tangkap
berteknologi canggih lainnya. Berangkat dari kenyataan itulah, kemudian banyak
kalangan mulai menyuarakan perlunya dibentuk Pengadilan Perikanan.
Mampukah Pengadilan Perikanan menjadi terobosan?
Inilah
persoalannya. Setelah kini ada landasan hukum bagi pembentukan PP, tidak serta
merta pesoalan menjadi selesai. Kalau kita cermati ketentuan-ketentuan dalam UU
No. 31/2004, khususnya Bab XIII tentang Pengadilan Perikanan, ternyata masih
banyak hal yang harus dibenahi sebelum lembaga baru ini benar-benar dibentuk
dua tahun ke depan. Menurut hemat saya, paling tidak ada tiga persoalan
pokok yang perlu mendapat perhatian serius.
Pertama,
adanya
kelamahan-kelamahan pada hukum acara. Hukum acara PP mematok waktu cukup
singkat, yaitu 160 hari untuk penyelesaikan suatu perkara mulai dari
penyidikan sampai putusan MA. Waktu yang cukup singkat dibanding standar KUHAP
yang untuk penyelesaian perkara tingkat pertama saja butuh waktu tiga kali
lebih lama. Persoalannya, jangka waktu yang sedemikian singkat itu akan
berbenturan dengan kondisi rill di lapangan, khususnya berkenan dengan jalur
beracara yang harus dilalui. Acara pemeriksaan di PP mengenal tiga tahapan,
yaitu pemeriksaan tingkat pertama (PP), tingkat banding (PT) dan kasasi (MA).
Untuk tiap tahapan tersebut dialokasikan waktu masing-masing 30 hari. Di tingkat
pertama (PP) – dengan dukungan SDM yang memadai serta khusus hanya menangani
perkara-perkara perikanan – mungkin tenggang waktu 30 hari cukup memadai,
tapi bagaimana halnya dengan PT dan MA? Cukupkah waktu 30 hari? Faktanya
perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload.
Kelemahan mekanisme ini sebenarnya terkait dengan tidak adanya mekanisme
pembatasan terhadap perkara-perkara yang akan diajukan bading/kasasi. Disamping
itu, tidak adanya hakim ad hoc di tingkat banding dan kasasi juga akan
berpengaruh terhadap kemampuan dab kesigapan penanganan perkara di kedua
tingkat peradilan ini.
Selain
tidak adanya hakim ad hoc di tingkat banding/kasasi, dalam PP juga tidak
dikenal jaksa ad hoc. Padahal keberadaan jaksa ad hoc ini sebenarnya sangat
penting, sebab bagaimanapun jaksalah yang akan membedah dan membuktikan suatu
perkara di pengadilan. Kenyataannya, banyak kasus yang lolos di pengadilan
bukan hanya disebabkan oleh hakim yang tidak begitu memahami perkara perikanan,
tapi karena ketidakmampuan jaksa dalam membuktikan tindak pidana di bidang
perikanan tersebut.
Hal
lain yang tak kalah penting adalah mengenai alat bukti yang masih mengacu pada
KUHAP. Padahal dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, alat bukti yang
diatur dalam KUHAP sudah tidak memadai lagi. Di bidang perikanan data dan
informasi hasil pengawasan melalui Vessel Monitoring System (VMS) -- yang saat
ini sedang digalakan di Indonesia--
sebenarnya sangat penting bagi proses pembuktian. Namun sayangnya hal itu
justru tidak dimasukan sebagai salah satu alat bukti.
Kedua, tidak adanya mekanisme koordinasi, khususnya pada tingkat
penyidikan. Penyidik di bidang perikanan terdiri darai PPNS, TNI AL, dan
Kepolisian. Institusi tersebut sama-sama mempunyai dasar hukum atas
kewenangannya sebagai penyidik di laut. Persoalannya, dalam praktek di lapangan
koordinasi diantara instansi tersebut sangat lemah. Seperti pada kasus-kasus
yang telah dikemukakan di atas, akibat kuatnya ego dan kepentingan
diantara mereka, proses penyidikan tindak-tindak pidana di bidang perikanan
menjadi kurang optimal. Lalu bagaimana UU 31/2004 mengatur hal itu? Ternyata
dalam UU 31/2004 nyaris tidak ada sesuatu yang baru yang diharapkan dapat
mengatasi persoalan lemahnya koordinasi tersebut. Diposisikannya PPNS sejajar
dengan TNI AL dan Kepolisian sebagai penyidik, serta diberikannya kewenangan
kepada Menteri untuk membentuk forum koordinasi bagi kepentingan
penyidikan di tingkat daerah, belum memberikan solusi nyata bagi persoalan
tersebut. Apalagi forum koordinasi tersebut nota bene dibentuk pada tingkat
menteri, sedangkan Bakorkamla yang sudah lama eksis dan dibentuk dengan Surat
Keputusan Bersama (SKP) saja nyaris tidak bisa berbuat apa-apa.
Ketiga,
banyaknya
hal-hal teknis yang belum diatur, khususnya terkait dengan format pengadilan
yang akan dibentuk, seperti: bagaimana susunan PP tersebut (pimpinan, hakim
anggota, sekretaris, panitera, dll), apa tugas dari masing-masing perangkat
pengadilan tersebut, siapa yang menjadi hakim ketua, bagaimana mekanisme
pengangkatan dan pemberhentian hakim (ad hoc), berapa lama masa jabatan hakim
(ad hoc), apa saja persyaratan untuk diangkat menjadi hakim (ad hoc), apakah
semua perkara harus diputus oleh Majelis (tiga orang hakim) atau dapat oleh
hakim tunggal untuk perkara-perkara yang ringan, dan bagaimana mekanisme
pembinaan dan pengawasan terhadap pengadilan ini. Hal-hal tersebut sama sekali
tidak diatur dalam UU 31/2004. Hal ini dikhawatirkan sedikit banyak akan
menjadi hambatan bagi PP dalam menjalankan fungsinya nanti.
Tentang
tidak adanya mekanisme pembinaan dan pengawasan, hal ini sebenarnya sangat
fatal, sebab realisasi pembinaan dan pengawasan terhadap badan peradilan
sangat diperlukan guna menjamin terwujudnya penegakan hukum yang
benar-benar memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Demikian
pula tidak adanya pengaturan mengenai persyaratan untuk diangkat menjadi hakim
PP, menyebabkan tidak jelasnya standar kualifikasi bagi hakim-hakim yang akan
diangkat. Kita semua menyadari, sebaik apapun aturan hukum dibuat, namun
yang lebih menjamin keberhasilannya nanti adalah sejauh mana integritas moral
yang dimiliki oleh hakim-hakim PP dalam membedah kasus-kasus di pengadilan.
Dari optik sosiologis, undang-undang itu hanya ”benda mati”, yang hidup, jika ”dihidupkan”
oleh para penegak hukum. Seharusnya para penyusun UU dapat
mengambil pelajaran dari ucapan Prof. Teverne: “berikan kepada saya jaksa
dan hakim yang baik, maka dengan undang-undang yang buruk saya dapat
memberikan putusan yang bagus”.
Pada akhirnya kita semua menyadari, mampu atau tidaknya lembaga peradilan ini
memberi andil positif bagi pembangunan dunia peradilan kita, akan
sangat tergantung pada sejauh mana keseriusan semua pihak untuk mempersiapkan
lembaga peradilan ini, termasuk mencari jalan keluar untuk meminimalisir
kelemahan-kelamahan yang ada padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar