Terhadap
berbagai definisi tentang kebudayaan, antara lain yang mengemukakan bahwa way of life, yaitu way of thinking, way of
feeling, dan way of doing. Untuk
menganalisa masyarakat peasant yang bersifat bersahaja maka diperlukan konsep
kebudayaan yang sederhana pula yaitu kebudayaan dilihat dari aspek kebudayaan
dan non-kebudayaan (immaterial culture).
Dengan kata lain kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem nilai dan norma (adat
istiadat) yang mengatur perilaku dan peri-kehidupan masyarakat peasant.
Pola kebudayaan masyarakat
peasant termasuk pola kebudayaan tradisional, yaitu merupakan produk dari
benarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam.
Menurut Paul H. Landis dalam Sosiologi Pedesaan (2008), besar kecilnya pengaruh
alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh:
1) sejauh mana ketergantungan terhadap alam,
2)
tingkat
teknologi yang dimiliki, dan
3)
sistem
produksi yang diterapkan.
Paul H. Landis juga mengemukakan ciri-ciri
kebudayaan tradisional yaitu:
1)
adaptasinya pasif,
2)
rendahnya tingkat invasi,
3)
tebalnya rasa kolektivitas,
4)
kebiasaaan hidup yang lamban,
5)
kepercayaan kepada takhayul,
6)
kebutuhan material yang bersahaja,
7)
rendahnya kesadaran terhadap waktu,
8)
cenderung bersifat praktis, dan
9)
standar moral yang kaku.
Persyaratan bagi eksistensi pola
kebudayaan tradisional tidak hanya menyangkut kesembilan ciri-ciri di atas,
melainkan juga harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan luar peasant seperti
pengaruh struktur kekuatan tertentu yang mendominasi desa. Pelbagai kerajaan
yang tersebar di persada nusantara memiliki pengaruh yang sangat menentukan
bagi pola kebudayaan masyarakat desa. Pengaruh kerajaan juga menyangkut masalah
penguasaan kerajaan terhadap tanah pertanian (sistem feodalisme) sehingga
masyarakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi pada kerajaan. Di
daerah-daerah yang tidak terdapat kerajaan maka sistem kekerabatan mempunyai
pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan pola kebudayaan tradisional. Dengan kata lain, pola kebudayaan mereka
identik dengan sistem kekerabatannya.
Selain kebudayaan dalam lingkungan masyaraka peasant, juga terdapat tradisi
dan hukum adat di peasant Indonesia. Tradisi dibedakan dalam pengertian sebagai
tradisi sinkronik dan diakronik. Dalam pengertian tradisi diakronik, antara
yang tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan.
Sedangkan dalam tradisi sinkronik, tradisi justru bersifat situasional Untuk
memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan
berikut! artinya mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sehingga antara
yang tradisional dengan yang modern tidak bertentangan. Dalam pembahasan
tentang masyarakat desa yang bersahaja, maka pengertian.tradisi diakronis yang
digunakan.
Pengertian tradisi dan adat istiadat dikonkretkan lagi menjadi hukum adat.
Pengertian hukum adat di sini lebih mengacu pada pengertian hukum asli yang ada
di pelbagai daerah di Indonesia. Hukum adat yang mengatur kehidupan
masyarakat-masyarakat di pelbagai daerah di Indonesia ini tidak terlepas dari
pengaruh-pengaruh luar, misalnya pengaruh dari agama Hindu, Islam, dan
pemerintahan kolonial.
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum adat di Indonesia, perlu
dibedakan dua tipe desa berdasarkan perbedaan integritas masyarakatnya yaitu
desa-desa di luar Jawa dan di Jawa. Integritas desa-desa di luar Jawa
didasarkan atas hubungan darah (genealogis),
sedangkan integritas desa-desa di Jawa lebih didasarkan pada ikatan hubungan
daerah (geografis). Pada masyarakat
yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah maka hukum adatnya kurang
memiliki kekuatan pengikat dan pengendali dibandingkan dengan hukum adat pada
masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah.
Untuk desa-desa di Jawa umumnya, di daerah pedalaman khususnya, melemahnya
tradisi serta hukum adat bukan saja karena sifatnya sebagai tipe desa
geografis, melainkan terutama untuk intervensi yang dilancarkan oleh
kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa).Kekuatan
supradesa ini adalah dari kekuatan kerajaan dan pemerintah kolonial.
Menurut Rogers dalam “Bahan Kuliah Struktur dan
Organisasi Sosial” mengakui bahwa membuat generalisasi mengenai ciri-ciri
peasant yang berlaku di berbagai masyarakat peasant agak sulit, karena
masyarakat peasant di suatu tempat memiliki karakteristik yang khas, yang
berbeda satu sama lain, bahkan yang tinggal dalam satu subsisten peasant
memiliki kultur yang umum yaitu :
- Dalam hubungan interpersonal, sesama peasant saling mencurigai (mutual distrust in interpersonal relation)
Karena dikalangan peasant saling mencurigai, mereka digambarkan sebagai
orang-orang yang individualistis, bersikap menarik diri, dan enggan memberikan
bantuan ekonomi kepada orang lain.
- Memandang bahwa kebaikan itu terbatas (perceived limited good)
Peasant mengganggap bahwa suatu barang, status, jabatan, kebaikan yang
diinginkan dalam kehidupan itu jumlahnya terbatas, persediaannya sedikit, dan
tak biasa ditingkatkan kuantitasnya dengan cara apapun.
- Bergantung kepada dan sekaligus bersikap memusuhi otoritas pemerintah (depence on an hostility toward government authority)
Kemerdekaan masyarakat peasant didesa secara traumatis terganggu oleh kontrol
pemerintah yang kuat terhadap mereka dalam proses modernisasi.
- Familisme (familism)
Adanya saling mencurigai di kalangan peasant sendiri menyebabkan semakin
menguatnya ikatan dikalangan keluarga atau famili masing-masing. Ikatan ini
diharapkan masing-masing keluarga peasant akan mampu mengahadapi kelompok luar.
Keluarga, bagi peasant, merupakan basis pergaulan sosial yang memainkan peranan
penting. Tanpa ikatan keluarga, orang akan terisolasi, terlindungi, dan mudah
dieksploitasi orang lain.
- Keinovatifan yang rendah (lack of innovativeness)
Peasant sangat menghargai tradisi-tradisi warisan nenek moyangnya dan
tertutup terhadap gagasan-gagasan baru. Ketika inovasi-inovasi mengenai
pertanian, kesehatan, dan lain-lain, ditawarkan kepada mereka, respons mereka
tidak antusias. Hal-hal yang baru bagi mereka mengandung resiko ketidakpastian
dan kegagalan, apalagi bila mereka pernah mengalami kegagalan setelah menerima
suatu inovasi. Dengan kata lain, kaum peasant bersikap negative terhadap
perubahan.
- Fatalisme (fatalism)
Fatalisme adalah ketidakmampuan individu mengantisipasi dan mengandalikan
masa depan. mereka merasa berada dalam ketidakpastian. Orang yang menyerahkan
dirinya pada tangan sang nasib ia tidak akan tertarik untuk meningkatkan
standar hidupnya ketingkat yang lebih tinggi. Hanya orang yang memandang
dirinya mampu menguasai dirinya sendirilah yang akan mampu mendorong pribadinya
untuk memperbaiki kehidupannya.
- Aspirasi yang terbatas (limited aspirations)
Aspirasi berkaitan dengan masa
depan yang berkaitan, misalnya tingkat kehidupan, status sosial, pendidikan,
pekerjaan. Adanya sikap fatasilme, pandangan bahwa kebaikan atau jumlah
kesempatan yang biasa diperoleh itu terbatas, dan bahwa kesempatan itu
tertutup, telah mengkondisikan kaum peasant tidak memiliki aspirasi dan
harapan-harapan yang jelas untuk kemajuan masa depannya. Motivasi mereka
untuk meraih suatu cita-cita sangat rendah. Motivasi yang rendah ini terjadi
akibat situasi kehidupan mereka dimana sumberdaya yang terbatas, pengasuhan
anak yang otoritas, dan pengalaman mereka dieksploitasi pihak luar dalam
rentang waktu yang cukup lama.
- Penundaan pemuasan yang rendah (lack of deferred gratification)
Peasant ditandai oleh dorongan yang kuat untuk segera memperoleh pemuasan
kebutuhan. Mereka lebih suka mengeluarkan uang untuk mendapatkan kebutuhan saat
itu dengan segera ketimbang menabungnya untuk keperluan dimasa mendatang.
- Terbatasnya cara pandang peasant terhadap dunia (limited view of the world)
Pandangan peasant mengenai
dunia dibentuk oleh situasi setempat dan lingkungan sangat terbatas. Dalam
hal memandang waktu, mereka kurang begitu akrab dalam batasan-batasan detik,
menit, dan jam yang sudah umum menjadi ukuran satuan waktu dalam masyarakat
modern. Perspektif waktu mereka
lebih banyak dikaitkan dengan irama alam. Seperti perputaran matahari, bulan,
musim, dan tahun. Masyarakat peasant secara geografis juga relatif terpisahkan
dari dunia luar lingkungan fisik mereka sangat membatasi mobilitas mereka. Alat
transportasi yang terbatas, jalan raya yang menghubungkan dengan daerah lain
tidak memadai, waktu tempuh yang sangat lama menyebabkan mereka jauh lebih
banyak berada dilingkungan tempat tinggalnya sendiri dibandingkan dengan
bepergian keluar daerahnya.
- Empati yang rendah (low emphaty)
Empati adalah kemampuan seseorang memproyeksikan dirinya kedalam peranan
orang lain. Karena keterbatasan hubungan dengan dunia luar, kaum peasant
cenderung menilai atau mengevaluasi suatu objek atau orang lain semata-mata
berdasarkan cara pandang dirinya sendiri. Mereka tak mampu membayangkan
bagaimana cara orang lain memandang suatu objek. Ia sulit untuk membayangkan
bagaimana seandainya ia menempatkan dirinya sebagai orang lain dengan
menggunakan cara pandang orang yang bersangkutan. Empati dapat tumbuh manakala
orang sering berinteraksi secara bermakna dengan orang-orang yang memiliki
latar belakang dan peranan yang beragam. Bagi peasant hal ini cukup sulit
karena lingkungan pergaulan mereka relatif homogen.
Menurut Mulyadi
(2005), kebudayaan masyarakat peasant terbagi menjadi 3 yaitu:
- Keterasingan relatif
- Organisasi kerja
- Pembagian tenaga kerja
Menurut Satria (2002), kebudayaan masyarakat
peasant memiliki beberapa ciri-ciri yaitu:
- Mempunyai identitas yang khas (distinctiveness),
- Terdiri dari jumlah penduduk dengan jumlah yang cukup terbatas (smallness) sehingga masih saling mengenal sebagai individu yang berkepribadian.,
- Bersifat seragam dengan diferensiasi terbatas (homogeneity),
- Kebutuhan hidup penduduknya sangat terbatas sehingga semua dapat dipenuhi sendiri tanpa bergantung pada pasar di luar (all-providing self sufficiency),
Oleh karena itu,
masyarakat peasant merupakan suatu sistem ekologi dengan masyarakat dan
kebudayaan penduduk serta lingkungan alam setempat sebagai dua unsur pokok
dalam suatu lingkaran pengaruh timbal balik yang matap. Dengan demikian,
masyarakat peasant pada masyaraat pesisir merupakan sistem ekologi yang dapat
menggambarkan betapa kuatnya interaksi antara masyarakat pesisir dan lingkungan
pesisir laut.
Menurut
Klunckhon dalam Satria (2002), masyarakat pesisir yang berjenis desa pantai dan
desa terisolasi dicirikan oleh sikap mereka terhadap alam dan manusia. Terhadap
alam, umumnya mereka tunduk. Ada
pula yan berusaha mejaga keselarasan dengan alam. Sikap tunduk kepada alam
dilatarbelakangi pandangan mereka bahwa alam memiliki kekuatan magis. Misalnya awig-awig di Lombok atau sasi di Maluku merupakan salah satu
bentuk sikapmasyarakat pesisir yang hendak selaras dengan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar