Sabtu, 20 April 2013

Kebudayaan Peasant

 http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/39/Pieter_Bruegel_II_-_Peasant_Wedding_Dance_-_Walters_37364.jpg

Terhadap berbagai definisi tentang kebudayaan, antara lain yang mengemukakan bahwa way of life, yaitu way of thinking, way of feeling, dan way of doing. Untuk menganalisa masyarakat peasant yang bersifat bersahaja maka diperlukan konsep kebudayaan yang sederhana pula yaitu kebudayaan dilihat dari aspek kebudayaan dan non-kebudayaan (immaterial culture). Dengan kata lain kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem nilai dan norma (adat istiadat) yang mengatur perilaku dan peri-kehidupan masyarakat peasant.
Pola kebudayaan masyarakat peasant termasuk pola kebudayaan tradisional, yaitu merupakan produk dari benarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis dalam Sosiologi Pedesaan (2008), besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh:
1)      sejauh mana ketergantungan terhadap alam,
2)      tingkat teknologi yang dimiliki, dan
3)      sistem produksi yang diterapkan.

Paul H. Landis juga mengemukakan ciri-ciri kebudayaan tradisional yaitu:
1)      adaptasinya pasif,
2)      rendahnya tingkat invasi,
3)      tebalnya rasa kolektivitas,
4)      kebiasaaan hidup yang lamban,
5)      kepercayaan kepada takhayul,
6)      kebutuhan material yang bersahaja,
7)      rendahnya kesadaran terhadap waktu,
8)      cenderung bersifat praktis, dan
9)      standar moral yang kaku.
Persyaratan bagi eksistensi pola kebudayaan tradisional tidak hanya menyangkut kesembilan ciri-ciri di atas, melainkan juga harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan luar peasant seperti pengaruh struktur kekuatan tertentu yang mendominasi desa. Pelbagai kerajaan yang tersebar di persada nusantara memiliki pengaruh yang sangat menentukan bagi pola kebudayaan masyarakat desa. Pengaruh kerajaan juga menyangkut masalah penguasaan kerajaan terhadap tanah pertanian (sistem feodalisme) sehingga masyarakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi pada kerajaan. Di daerah-daerah yang tidak terdapat kerajaan maka sistem kekerabatan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan pola kebudayaan tradisional. Dengan kata lain, pola kebudayaan mereka identik dengan sistem kekerabatannya.
Selain kebudayaan dalam lingkungan masyaraka peasant, juga terdapat tradisi dan hukum adat di peasant Indonesia. Tradisi dibedakan dalam pengertian sebagai tradisi sinkronik dan diakronik. Dalam pengertian tradisi diakronik, antara yang tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan. Sedangkan dalam tradisi sinkronik, tradisi justru bersifat situasional Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! artinya mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sehingga antara yang tradisional dengan yang modern tidak bertentangan. Dalam pembahasan tentang masyarakat desa yang bersahaja, maka pengertian.tradisi diakronis yang digunakan.
Pengertian tradisi dan adat istiadat dikonkretkan lagi menjadi hukum adat. Pengertian hukum adat di sini lebih mengacu pada pengertian hukum asli yang ada di pelbagai daerah di Indonesia. Hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakat-masyarakat di pelbagai daerah di Indonesia ini tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya pengaruh dari agama Hindu, Islam, dan pemerintahan kolonial.
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum adat di Indonesia, perlu dibedakan dua tipe desa berdasarkan perbedaan integritas masyarakatnya yaitu desa-desa di luar Jawa dan di Jawa. Integritas desa-desa di luar Jawa didasarkan atas hubungan darah (genealogis), sedangkan integritas desa-desa di Jawa lebih didasarkan pada ikatan hubungan daerah (geografis). Pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah maka hukum adatnya kurang memiliki kekuatan pengikat dan pengendali dibandingkan dengan hukum adat pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah.
Untuk desa-desa di Jawa umumnya, di daerah pedalaman khususnya, melemahnya tradisi serta hukum adat bukan saja karena sifatnya sebagai tipe desa geografis, melainkan terutama untuk intervensi yang dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa).Kekuatan supradesa ini adalah dari kekuatan kerajaan dan pemerintah kolonial.
Menurut Rogers dalam “Bahan Kuliah Struktur dan Organisasi Sosial” mengakui bahwa membuat generalisasi mengenai ciri-ciri peasant yang berlaku di berbagai masyarakat peasant agak sulit, karena masyarakat peasant di suatu tempat memiliki karakteristik yang khas, yang berbeda satu sama lain, bahkan yang tinggal dalam satu subsisten peasant memiliki kultur yang umum yaitu :

  1. Dalam hubungan interpersonal, sesama peasant saling mencurigai (mutual distrust in interpersonal relation)
Karena dikalangan peasant saling mencurigai, mereka digambarkan sebagai orang-orang yang individualistis, bersikap menarik diri, dan enggan memberikan bantuan ekonomi kepada orang lain.

  1. Memandang bahwa kebaikan itu terbatas (perceived limited good)
Peasant mengganggap bahwa suatu barang, status, jabatan, kebaikan yang diinginkan dalam kehidupan itu jumlahnya terbatas, persediaannya sedikit, dan tak biasa ditingkatkan kuantitasnya dengan cara apapun.

  1. Bergantung kepada dan sekaligus bersikap memusuhi otoritas pemerintah (depence on an hostility toward government authority)
Kemerdekaan masyarakat peasant didesa secara traumatis terganggu oleh kontrol pemerintah yang kuat terhadap mereka dalam proses modernisasi.

  1. Familisme (familism)
Adanya saling mencurigai di kalangan peasant sendiri menyebabkan semakin menguatnya ikatan dikalangan keluarga atau famili masing-masing. Ikatan ini diharapkan masing-masing keluarga peasant akan mampu mengahadapi kelompok luar. Keluarga, bagi peasant, merupakan basis pergaulan sosial yang memainkan peranan penting. Tanpa ikatan keluarga, orang akan terisolasi, terlindungi, dan mudah dieksploitasi orang lain.

  1. Keinovatifan yang rendah (lack of innovativeness)
Peasant sangat menghargai tradisi-tradisi warisan nenek moyangnya dan tertutup terhadap gagasan-gagasan baru. Ketika inovasi-inovasi mengenai pertanian, kesehatan, dan lain-lain, ditawarkan kepada mereka, respons mereka tidak antusias. Hal-hal yang baru bagi mereka mengandung resiko ketidakpastian dan kegagalan, apalagi bila mereka pernah mengalami kegagalan setelah menerima suatu inovasi. Dengan kata lain, kaum peasant bersikap negative terhadap perubahan.

  1. Fatalisme (fatalism)
Fatalisme adalah ketidakmampuan individu mengantisipasi dan mengandalikan masa depan. mereka merasa berada dalam ketidakpastian. Orang yang menyerahkan dirinya pada tangan sang nasib ia tidak akan tertarik untuk meningkatkan standar hidupnya ketingkat yang lebih tinggi. Hanya orang yang memandang dirinya mampu menguasai dirinya sendirilah yang akan mampu mendorong pribadinya untuk memperbaiki kehidupannya.

  1. Aspirasi yang terbatas (limited aspirations)
Aspirasi berkaitan dengan masa depan yang berkaitan, misalnya tingkat kehidupan, status sosial, pendidikan, pekerjaan. Adanya sikap fatasilme, pandangan bahwa kebaikan atau jumlah kesempatan yang biasa diperoleh itu terbatas, dan bahwa kesempatan itu tertutup, telah mengkondisikan kaum peasant tidak memiliki aspirasi dan harapan-harapan yang jelas untuk kemajuan masa depannya. Motivasi mereka untuk meraih suatu cita-cita sangat rendah. Motivasi yang rendah ini terjadi akibat situasi kehidupan mereka dimana sumberdaya yang terbatas, pengasuhan anak yang otoritas, dan pengalaman mereka dieksploitasi pihak luar dalam rentang waktu yang cukup lama.

  1. Penundaan pemuasan yang rendah (lack of deferred gratification)
Peasant ditandai oleh dorongan yang kuat untuk segera memperoleh pemuasan kebutuhan. Mereka lebih suka mengeluarkan uang untuk mendapatkan kebutuhan saat itu dengan segera ketimbang menabungnya untuk keperluan dimasa mendatang.

  1. Terbatasnya cara pandang peasant terhadap dunia (limited view of the world)
Pandangan peasant mengenai dunia dibentuk oleh situasi setempat dan lingkungan sangat terbatas. Dalam hal memandang waktu, mereka kurang begitu akrab dalam batasan-batasan detik, menit, dan jam yang sudah umum menjadi ukuran satuan waktu dalam masyarakat modern. Perspektif waktu mereka lebih banyak dikaitkan dengan irama alam. Seperti perputaran matahari, bulan, musim, dan tahun. Masyarakat peasant secara geografis juga relatif terpisahkan dari dunia luar lingkungan fisik mereka sangat membatasi mobilitas mereka. Alat transportasi yang terbatas, jalan raya yang menghubungkan dengan daerah lain tidak memadai, waktu tempuh yang sangat lama menyebabkan mereka jauh lebih banyak berada dilingkungan tempat tinggalnya sendiri dibandingkan dengan bepergian keluar daerahnya.

  1. Empati yang rendah (low emphaty)
Empati adalah kemampuan seseorang memproyeksikan dirinya kedalam peranan orang lain. Karena keterbatasan hubungan dengan dunia luar, kaum peasant cenderung menilai atau mengevaluasi suatu objek atau orang lain semata-mata berdasarkan cara pandang dirinya sendiri. Mereka tak mampu membayangkan bagaimana cara orang lain memandang suatu objek. Ia sulit untuk membayangkan bagaimana seandainya ia menempatkan dirinya sebagai orang lain dengan menggunakan cara pandang orang yang bersangkutan. Empati dapat tumbuh manakala orang sering berinteraksi secara bermakna dengan orang-orang yang memiliki latar belakang dan peranan yang beragam. Bagi peasant hal ini cukup sulit karena lingkungan pergaulan mereka relatif homogen.


Menurut Mulyadi (2005), kebudayaan masyarakat peasant terbagi menjadi 3 yaitu:
  1. Keterasingan relatif
  2. Organisasi kerja
  3. Pembagian tenaga kerja
Menurut Satria (2002), kebudayaan masyarakat peasant memiliki beberapa ciri-ciri yaitu:
    1. Mempunyai identitas yang khas (distinctiveness),
    2. Terdiri dari jumlah penduduk dengan jumlah yang cukup terbatas (smallness) sehingga masih saling mengenal sebagai individu yang berkepribadian.,
    3. Bersifat seragam dengan diferensiasi terbatas (homogeneity),
    4. Kebutuhan hidup penduduknya sangat terbatas sehingga semua dapat dipenuhi sendiri tanpa bergantung pada pasar di luar (all-providing self sufficiency),
Oleh karena itu, masyarakat peasant merupakan suatu sistem ekologi dengan masyarakat dan kebudayaan penduduk serta lingkungan alam setempat sebagai dua unsur pokok dalam suatu lingkaran pengaruh timbal balik yang matap. Dengan demikian, masyarakat peasant pada masyaraat pesisir merupakan sistem ekologi yang dapat menggambarkan betapa kuatnya interaksi antara masyarakat pesisir dan lingkungan pesisir laut.
Menurut Klunckhon dalam Satria (2002), masyarakat pesisir yang berjenis desa pantai dan desa terisolasi dicirikan oleh sikap mereka terhadap alam dan manusia. Terhadap alam, umumnya mereka tunduk. Ada pula yan berusaha mejaga keselarasan dengan alam. Sikap tunduk kepada alam dilatarbelakangi pandangan mereka bahwa alam memiliki kekuatan magis. Misalnya awig-awig di Lombok atau sasi di Maluku merupakan salah satu bentuk sikapmasyarakat pesisir yang hendak selaras dengan alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar