Rabu, 16 Januari 2013

Nelayan Sebagai Masyarakat Pesisir

Gambar

Konteks Masyarakat Nelayan
Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan  pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut (Kusnadi, 2009).
Menurut Imron (2003) dalam Mulyadi (2005), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggi pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.
Seperti masyarakat yang lain, masyarakat nelayan menghadapi sejumlah masalah politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut antara lain:
  1. Kemiskinan, kesenjangan sosial dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat,
  2. Keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar sehingga memengaruhi dinamika usaha,
  3. Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada,
  4. Kualitas sumberdaya mayarakat yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publikj,
  5. Degradasi sumberdaya lingkungan baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil, dan
  6. Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional (Kusnadi, 2006 dalam Kusnadi 2009).
Masalah actual lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa potensi untuk berkembangnya jumlah penduduk miskin di kawasan pesisir cukup terbuka. Hal ini disebabkan dua hal penting berikut ini:
  • Meningkatnya degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan pesisir laut. Degradasi lingkungan ini terjadi karena pembuangan limbah dari wilayah darat atau perubahan tata guna lahan di kawasan pesisir untuk kepentingan pembangunan fisik. Kondisi demikian akan menyulitkan nelayan memperoleh hasil tangkapan, khususnya di daerah-daerah perairan yang sudah dalam kondisi tangkap lebih.
  • Membengkaknya biaya-biaya operasi penangkapan karena meningkatnya harga bahan bakar minyak (bensin dan solar), sehingga nelayan mengurangi kuantitas operasi penangkapan. Untuk  menyiasati kenaikan harga bahan bakar ini, nelayan menggunakan bahan bakar minyak tanah dicampur dengan oli bekas atau solar. Bahan bakar oplosan ini untuk menggantikan bahan bakar  bensin dan solar. Hal ini berdampak negatif terhadap kerusakan mesin perahu, sehingga dapat membebani biaya investasi nelayan.
Kedua hal di atas berpengaruh signifikan terhadap perolehan pendapatan nelayan dan kelangsungan usaha nelayan.

Penggolongan Nelayan
Beberapa kelompok nelayan memiliki beberapa perbedaan dalam karakteristik sosial dan kependudukan. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada kelompok umur, pendidikan, status sosial dan kepercayaan. Dalam satu kelompok nelayan sering juga ditemukan perbedaan kohesi internal, dalam pengertian hubungan sesama nelayan maupun hubungan bermasyarakat (Townsley 1998 dalam Widodo, 2006).
Charles 2001 dalam Widodo 2006  membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok yaitu:
  1. Nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
  2. Nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyak memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil.
  3. Nelayan rekreasi (recreational/sport fishers), yaitu orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekedar untuk kesenangan atau berolahraga, dan
  4. Nelayan komersial (commercial fishers), yaitu mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor. Kelompok nelayan ini dibagi dua, yaitu nelayan skala kecil dan skala besar.
Dari empat pengelompokan tersebut sudah sangat sulit menemukan dua kelompok yang pertama. Sementara kelompok ketiga walaupun di beberapa negara maju berbagai kegiatannya telah terdokumentasi dengan baik namun di beberapa negara berkembang seperti Indonesia misalnya, sulit ditemukan. Di samping pengelompokkan tersebut, terdapat beberapa terminologi yang sering digunakan  untuk menggambarkan kelompok nelayan, seperti nelayan penuh untuk mereka yang menggantungkan keseluruhan hidupnya dari menangkap ikan; nelayan sambilan untuk mereka yang hanya sebagian dari hidupnya tergantung dari menangkap ikan (lainnya dari aktivitas seperti pertanian, buruh dan tukang); juragan untuk mereka yang memiliki sumberdaya ekonomi untuk usaha perikanan seperti kapal dan alat tangkap; dan anak buah kapal (ABK/pandega) untuk mereka yang mengalokasikan waktunya dan memperoleh pendapatan dari hasil pengoperasian alat tangkap ikan, seperti kapal milik juragan.
Disamping pembagian diatas, Widodo 2006  juga mengemukakan beberapa pembagian lain seperti daya jangkau armada perikanan dan juga lokasi penangkapan ikan. Dapat disebutkan misalnya nelayan pantai atau biasanya disebut:
  1. Perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil dengan armada yang didominasi oleh perahu tanpa motor atau kapal motor tempel,
  2. Perikanan lepas pantai untuk perikanan dengan kapasitas perahu rata-rata 30 GT, dan
  3. Perikanan samudera untu kapal-kapal ukuran besar misalnya 100 GT dengan target perikanan tunggal seperti tuna.
Posisi Nelayan dalam Masyarakat Pesisir
Menurut Kusnadi (2009), dalam  perspektif stratifikasi sosial ekonomi, masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogeny. Masyarakat pesisir terbentuk oleh kelompok-kelompok sosial yang beragam. Dilihat dari aspek interaksi masyarakat dengan sumberdaya ekonomi yang tersedia di kawasan pesisir, masyarakat pesisir terkelompok sebagai berikut:
  1. Pemanfaat langsung sumberdaya lingkungan, seperti nelayan (yang pokok), pembudidaya ikan di perairan pantai (dengan jarring apung atau karamba), pembudidaya rumput laut/mutiara, dan petambak.
  2. Pengolah hasil ikan atau hasil laut lainnya, seperti pemindang, pengering ikan, pengasap, pengusaha terasi/krupuk ikan/tepung ikan, san sebagainya; dan
  3. Penunjang kegiatan ekonomi perikanan, seperti pemilik toko atau warung, pemilik bengkel (montir dan las), pengusaha angkutan, tukang perahu dan buruh kasar (manol).
Tingkat keragaman (heterogenitas) kelompok-kelompok sosial yang ada dipengaruhi oleh tingkat perkembangan desa-desa pesisir. Desa-desa pesisir atau desa-desa nelayan yang sudah berkembang lebih maju dan memungkinkan terjadinya diversifikasi kegiatan ekonomi, tingkat keragaman kelompok-kelompok sosialnya lebih kompleks daripada desa-desa pesisir yang belum berkmbang atau yang terisolasi secara geografis. Di desa-desa pesisir yang sudah berkembang biasanya dinamika sosial berlangsung secara intensif.
Selanjutnya Kusnadi (2009) mengatakan, di desa-desa pesisir yang memiliki potensi perikanan tangkap (laut) cukup besar dan memberi peluang mata pencarian bagi sebagian besar masyarakat pesisir melakukan kegiatan penangkapan, masyarakat atau kelompok sosial nelayan merupakan pilar sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir. Karena masyarakat nelayan berposisi sebagai produsen perikanan tangkap, maka kontribusi mereka terhadap dinamika sosial ekonomi lokal sangatlah besar. Peluang kerja di sektor perikanan tangkap ini tidak hanya memberi manfaat secara sosial ekonomi kepada masyarakat lokal, tetapi juga kepada masyarakat-desa-desa lain di daerah hulu yang berbatasan dengan desa nelayan tersebut.
Karena masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Karakteristik yang menjadi ciri-ciri sosial budaya masyarakat nelayan adalah sebagai berikut: memiliki struktur relasi patron-klien yang sangat kuat, etos kerja tinggi, memanfaatkan kemampuan diri dan adaptasi optimal, kompetitif dan berorientasi prestasi, apresiatif terhadap keahlian, kekayaan dan kesuksesan hidup, terbuka dan ekspresif, solidaritas sosial tinggi, sistem pembagian kerja berbasis seks (laut menjadi ranah laki-laki dan darat adalah ranah kaum perempuan), dan berperilaku “konsumtif” (Kusnadi, 2009).
Patron-klien merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir. Relasi sosial patron-klien sangat dominan dan terbentuk karna karakteristik kondisi mata pencarian, sistem ekonomi, dan lingkungan. Hubungan-hubungan demikian terpola dalam kegiatan organisasi produksi, aktivitas pemasaran, dan kepemimpinan sosial. Pola-pola hubungan patron-klien dapat menghambat atau mendukung perubahan sosial ekonomi. Namun demikian, dalam kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi, pola-pola hubungan patron-klien harus diperlakukan sebagai modal sosial atau potensi pemberdayaan masyarakat (Kusnadi, 2009).

Nelayan dan Kemiskinan
Menurut Mulyadi (2007), kemiskinan merupakan masalah yang bersifat kompleks dan multidimensional, baik dilihat dari aspek kultural maupun aspek struktural. Ada empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (low level-security) dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan polotik sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang.
Dilihat dari lingkupnya, kemiskinan nelayan terdiri atas kemiskinan prasarana dan kemiskinan keluarga. Kemiskinan prasarana dapat diindikasikan pada ketersediaan prasarana fisik di desa-desa nelayan, yang pada umumnya masih sangat minim, seperti tidak tersedianya air bersih, jauh dari pasar, dan tidak adanya akses untuk mendapatkan bahan bakar yang sesuai dengan harga standar. Kemiskinan prasarana secara tidak langsung juga memiliki andil bagi munculnya kemiskinan keluarga, kemiskinan prasarana jugadapat mengakiban keluarga yang berada garis kemiskinan (near poor) bisa merosot ke dalam kelompok keluarga miskin (Mulyadi, 2007).
Menurut Soetrisno (1995) dalam Mulyadi 2007, hal utama yang terkandung dalam kemiskinan adalah kerentanan dan ketidakberdayaan. Dengan kerentanan yang dialami, orang miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk keperluan melaut. Hal ini disebabkan sebelumnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa dijual, dan tidak ada dana cadangan yang dapat digunakan untuk keperluan yang mendesak. Hal yang sama juga dialami oleh nelayan buruh, mereka merasa tidak berdaya di hadapan para juragan yang telah mempekerjakannya, meskipun bagi hasil yang diterimanya dirasakan tidak adil.

PUSTAKA
Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Bandung
______. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Mulyadi, 2007. Ekonomi Kelautan. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Widodo,J dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut, Gadjah Mada University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar