Konteks Masyarakat Nelayan
Secara
geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara
wilayah darat dan laut (Kusnadi, 2009).
Menurut Imron (2003) dalam Mulyadi
(2005), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya
tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan
penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggi
pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi
kegiatannya.
Seperti
masyarakat yang lain, masyarakat nelayan menghadapi sejumlah masalah
politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut
antara lain:
- Kemiskinan, kesenjangan sosial dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat,
- Keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar sehingga memengaruhi dinamika usaha,
- Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada,
- Kualitas sumberdaya mayarakat yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publikj,
- Degradasi sumberdaya lingkungan baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil, dan
- Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional (Kusnadi, 2006 dalam Kusnadi 2009).
Masalah
actual lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa potensi untuk
berkembangnya jumlah penduduk miskin di kawasan pesisir cukup terbuka.
Hal ini disebabkan dua hal penting berikut ini:
- Meningkatnya degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan pesisir laut. Degradasi lingkungan ini terjadi karena pembuangan limbah dari wilayah darat atau perubahan tata guna lahan di kawasan pesisir untuk kepentingan pembangunan fisik. Kondisi demikian akan menyulitkan nelayan memperoleh hasil tangkapan, khususnya di daerah-daerah perairan yang sudah dalam kondisi tangkap lebih.
- Membengkaknya biaya-biaya operasi penangkapan karena meningkatnya harga bahan bakar minyak (bensin dan solar), sehingga nelayan mengurangi kuantitas operasi penangkapan. Untuk menyiasati kenaikan harga bahan bakar ini, nelayan menggunakan bahan bakar minyak tanah dicampur dengan oli bekas atau solar. Bahan bakar oplosan ini untuk menggantikan bahan bakar bensin dan solar. Hal ini berdampak negatif terhadap kerusakan mesin perahu, sehingga dapat membebani biaya investasi nelayan.
Kedua hal di atas berpengaruh signifikan terhadap perolehan pendapatan nelayan dan kelangsungan usaha nelayan.
Penggolongan Nelayan
Beberapa
kelompok nelayan memiliki beberapa perbedaan dalam karakteristik sosial
dan kependudukan. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada kelompok umur,
pendidikan, status sosial dan kepercayaan. Dalam satu kelompok nelayan
sering juga ditemukan perbedaan kohesi internal, dalam pengertian
hubungan sesama nelayan maupun hubungan bermasyarakat (Townsley 1998 dalam Widodo, 2006).
Charles 2001 dalam Widodo 2006 membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok yaitu:
- Nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
- Nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyak memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil.
- Nelayan rekreasi (recreational/sport fishers), yaitu orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekedar untuk kesenangan atau berolahraga, dan
- Nelayan komersial (commercial fishers), yaitu mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor. Kelompok nelayan ini dibagi dua, yaitu nelayan skala kecil dan skala besar.
Dari
empat pengelompokan tersebut sudah sangat sulit menemukan dua kelompok
yang pertama. Sementara kelompok ketiga walaupun di beberapa negara maju
berbagai kegiatannya telah terdokumentasi dengan baik namun di beberapa
negara berkembang seperti Indonesia misalnya, sulit ditemukan. Di
samping pengelompokkan tersebut, terdapat beberapa terminologi yang
sering digunakan untuk menggambarkan kelompok nelayan, seperti nelayan
penuh untuk mereka yang menggantungkan keseluruhan hidupnya dari
menangkap ikan; nelayan sambilan untuk mereka yang hanya sebagian dari
hidupnya tergantung dari menangkap ikan (lainnya dari aktivitas seperti
pertanian, buruh dan tukang); juragan untuk mereka yang memiliki
sumberdaya ekonomi untuk usaha perikanan seperti kapal dan alat tangkap;
dan anak buah kapal (ABK/pandega) untuk mereka yang mengalokasikan
waktunya dan memperoleh pendapatan dari hasil pengoperasian alat tangkap
ikan, seperti kapal milik juragan.
Disamping
pembagian diatas, Widodo 2006 juga mengemukakan beberapa pembagian
lain seperti daya jangkau armada perikanan dan juga lokasi penangkapan
ikan. Dapat disebutkan misalnya nelayan pantai atau biasanya disebut:
- Perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil dengan armada yang didominasi oleh perahu tanpa motor atau kapal motor tempel,
- Perikanan lepas pantai untuk perikanan dengan kapasitas perahu rata-rata 30 GT, dan
- Perikanan samudera untu kapal-kapal ukuran besar misalnya 100 GT dengan target perikanan tunggal seperti tuna.
Posisi Nelayan dalam Masyarakat Pesisir
Menurut
Kusnadi (2009), dalam perspektif stratifikasi sosial ekonomi,
masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogeny. Masyarakat pesisir
terbentuk oleh kelompok-kelompok sosial yang beragam. Dilihat dari
aspek interaksi masyarakat dengan sumberdaya ekonomi yang tersedia di
kawasan pesisir, masyarakat pesisir terkelompok sebagai berikut:
- Pemanfaat langsung sumberdaya lingkungan, seperti nelayan (yang pokok), pembudidaya ikan di perairan pantai (dengan jarring apung atau karamba), pembudidaya rumput laut/mutiara, dan petambak.
- Pengolah hasil ikan atau hasil laut lainnya, seperti pemindang, pengering ikan, pengasap, pengusaha terasi/krupuk ikan/tepung ikan, san sebagainya; dan
- Penunjang kegiatan ekonomi perikanan, seperti pemilik toko atau warung, pemilik bengkel (montir dan las), pengusaha angkutan, tukang perahu dan buruh kasar (manol).
Tingkat
keragaman (heterogenitas) kelompok-kelompok sosial yang ada dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan desa-desa pesisir. Desa-desa pesisir atau
desa-desa nelayan yang sudah berkembang lebih maju dan memungkinkan
terjadinya diversifikasi kegiatan ekonomi, tingkat keragaman
kelompok-kelompok sosialnya lebih kompleks daripada desa-desa pesisir
yang belum berkmbang atau yang terisolasi secara geografis. Di desa-desa
pesisir yang sudah berkembang biasanya dinamika sosial berlangsung
secara intensif.
Selanjutnya
Kusnadi (2009) mengatakan, di desa-desa pesisir yang memiliki potensi
perikanan tangkap (laut) cukup besar dan memberi peluang mata pencarian
bagi sebagian besar masyarakat pesisir melakukan kegiatan penangkapan,
masyarakat atau kelompok sosial nelayan merupakan pilar sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat pesisir. Karena masyarakat nelayan berposisi
sebagai produsen perikanan tangkap, maka kontribusi mereka terhadap
dinamika sosial ekonomi lokal sangatlah besar. Peluang kerja di sektor
perikanan tangkap ini tidak hanya memberi manfaat secara sosial ekonomi
kepada masyarakat lokal, tetapi juga kepada masyarakat-desa-desa lain di
daerah hulu yang berbatasan dengan desa nelayan tersebut.
Karena
masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam
struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai
karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir
secara umum. Karakteristik yang menjadi ciri-ciri sosial budaya
masyarakat nelayan adalah sebagai berikut: memiliki struktur relasi
patron-klien yang sangat kuat, etos kerja tinggi, memanfaatkan kemampuan
diri dan adaptasi optimal, kompetitif dan berorientasi prestasi,
apresiatif terhadap keahlian, kekayaan dan kesuksesan hidup, terbuka dan
ekspresif, solidaritas sosial tinggi, sistem pembagian kerja berbasis
seks (laut menjadi ranah laki-laki dan darat adalah ranah kaum
perempuan), dan berperilaku “konsumtif” (Kusnadi, 2009).
Patron-klien
merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau masyarakat
pesisir. Relasi sosial patron-klien sangat dominan dan terbentuk karna
karakteristik kondisi mata pencarian, sistem ekonomi, dan lingkungan.
Hubungan-hubungan demikian terpola dalam kegiatan organisasi produksi,
aktivitas pemasaran, dan kepemimpinan sosial. Pola-pola hubungan
patron-klien dapat menghambat atau mendukung perubahan sosial ekonomi.
Namun demikian, dalam kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi, pola-pola
hubungan patron-klien harus diperlakukan sebagai modal sosial atau
potensi pemberdayaan masyarakat (Kusnadi, 2009).
Nelayan dan Kemiskinan
Menurut
Mulyadi (2007), kemiskinan merupakan masalah yang bersifat kompleks dan
multidimensional, baik dilihat dari aspek kultural maupun aspek
struktural. Ada empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari
kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (low level-security) dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan polotik sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang.
Dilihat
dari lingkupnya, kemiskinan nelayan terdiri atas kemiskinan prasarana
dan kemiskinan keluarga. Kemiskinan prasarana dapat diindikasikan pada
ketersediaan prasarana fisik di desa-desa nelayan, yang pada umumnya
masih sangat minim, seperti tidak tersedianya air bersih, jauh dari
pasar, dan tidak adanya akses untuk mendapatkan bahan bakar yang sesuai
dengan harga standar. Kemiskinan prasarana secara tidak langsung juga
memiliki andil bagi munculnya kemiskinan keluarga, kemiskinan prasarana
jugadapat mengakiban keluarga yang berada garis kemiskinan (near poor) bisa merosot ke dalam kelompok keluarga miskin (Mulyadi, 2007).
Menurut Soetrisno (1995) dalam Mulyadi
2007, hal utama yang terkandung dalam kemiskinan adalah kerentanan dan
ketidakberdayaan. Dengan kerentanan yang dialami, orang miskin akan
mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat
pada nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli
bahan bakar untuk keperluan melaut. Hal ini disebabkan sebelumnya tidak
ada hasil tangkapan yang bisa dijual, dan tidak ada dana cadangan yang
dapat digunakan untuk keperluan yang mendesak. Hal yang sama juga
dialami oleh nelayan buruh, mereka merasa tidak berdaya di hadapan para
juragan yang telah mempekerjakannya, meskipun bagi hasil yang
diterimanya dirasakan tidak adil.
PUSTAKA
Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Bandung
______. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Mulyadi, 2007. Ekonomi Kelautan. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Widodo,J dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut, Gadjah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar